Give Me Coffee and Book

If you don't know history, then you don't know anything. You are a leaf that doesn't know it is part of a tree.

Kota Bandung dan Keunikannya

Menjelajahi setiap sudut Kota Bandung.

You Are The Music

Suka-suka ngomongin musik yang disuka.

Perbedaan adalah warna

Mencoba melihat yang ada menjadi lebih berwarna.

Kisah Para Pemburu Harta Karun

Berburu harta, bermain dan belajar bersama.

Image and video hosting by TinyPic

Monday, February 18, 2013

Ca-Bau-Kan

 
Sutradara: Nia Di Nata
Pemain: Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, Irgi A. Fahrenzi, Alex Komang, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Henky Solaiman, Alvin Adam, Maria Oentoe.

Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional:The Courtesan

Diadaptasi dari novel berjudul Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado, Ca-Bau-Kan menjadi film yang pertama mengangkat tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

Film debutan Nia Di Nata sebagai sutradara, produser dan merangkap penulis skenarionya ini merupakan film pertamanya yang mengangkat tema kaum minoritas di Indonesia. Pada film ini Nia Di Nata seakan ingin menunjukan pesan kepada penonton bahwa kaum minoritas Tionghoa tidak bisa dianggap tidak ada, Nia seperti percaya bahwa masing-masing keunikan di dunia ini dapat memperkaya dinamika masyarakat secara umum. 

Patutlah dihargai keberanian Nia Di Nata pada debut filmnya ini menyuguhkan tema yang jarang diangkat pada umunya. Kebranian membuat film keluar jalur mainstream menjadikan film ini pelepas dahaga yang beda bagi penikmat film-film Indonesia. 

Salah satu yang menarik untuk diamati pada film ini adalah bagaimana unsur sejarah  melekat kuat pada setiap  adegan. Bagaimanapun membuat film bertema sejarah merupakan suatu yang sulit, bukan hanya dari segi cerita, pemilihan detail pakaian, setting tempat, dialek tokoh, set artistik dan hal-hal kecil lainya perlu sebaik mungkin tersesuaikan dengan kekuataan cerita yang ada. Maka wajar saja total dana yang digunakan untuk membuat film ini mencapai lima miliyar.

Secara garis besar setting cerita film mencakup tiga zaman sejarah perkembangan Indonesia, pada zaman kolonial Belanda tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca kemerdekaan tahun 1960. Bercerita tentang seorang wanita Indonesia Giok Lan (Niniek L. Karim) yang mencari kembali latar belakang hidupnya. Pada usia senjanya ia lalu memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mencari asal usulnya. Film ini kemudian beralih ke masa lalu mengupas kisah seorang Ca Bau Kan (perempuan simpanan) bernama Tinung (Lola Amaria) yang memiliki beragam kisah memilukan.  

Sebagian besar cerita film ini menceritakan kisah cinta antara seorang pribumi dan seorang Tionghoa asal Semarang bernama Tan Peng Liang (Ferry Salim). Selanjutnya kisah cinta pada film ini diwarnai dengan persaingan perdagangan tembakau dan juga bagaimana terlibatnya seorang etnis Tionghoa memperjuangan kemerdekaan Indonesia.

Butuh beberapa saat agar mata dan logika menjadi terbiasa dengan cerita visual yang disuguhkan, terutama pada tokoh-tokohnya yang awalnya sulit untuk teridentifikasi jelas. Adegan beberapa pemain memang terlihat cukup natural, terutama Ferry Salim yang berperan menjadi Tan Peng Liang pria Tionghoa yang flamboyan. Di sisi lain ada beberapa yang sangat disayangkan pada film ini, posisi tokoh Tinung (Lola Amaria) sebagai seorang Ca-Bau-Kan terhempaskan ditelan alur cerita. Padahal Tinung merupakan salah satu tokoh utama dalam film ini. Sangat disayangkan puncak penderitaan Tinung kurang terasa menyengat pada film ini, Tinung akhirnya menjadi jugun ianfu di masa Jepang dan kemudian di tahun 1960 kehilangan suami yang terlihat getir tapi kurang mengena. 

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini enak untuk ditonton bersama-sama atau sendirian. Bagaimanapun film selalu membawa unsur budaya, dari film ini kita bisa banyak belajar bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia bergitu beragam karena alkulturasi dengan budaya setempat.  Selain itu kita juga bisa melihat kenyataan yang ada bahwasanya sejarah mengungkapkan bahwa Tionghoa di Indonesia dahulu-pun ternyata ikut juga berperan membantu kemerdekaan bangsa ini. Indonesia adalah cita-cita luhur dari keberagaman yang ada. Film ini sedikit banyak menggambarkan hal tersebut.

Sumber Foto:

Tantri06.Dimuat di http://thoughtsofstupidbookworm.files.wordpress.com/2013/01/cabaukan-all.jpg.Diakses 5 Januari 2013.

Monday, February 11, 2013

The Upstairs - Katalika




The Upstairs - Katalika
Mungkin saja pemberian nama The Upstairs bertujuan mengambarkan secara singkat bagaimana group bergenre nyentrik New Wave ini mempunyai materi diatas group band lain. Katalika menunjukan kelasnya. Jadi sudah lupakan cerita berapa kali band ini ditinggal personil, karena personel baru yang dipimpin komandan Jimmi "Danger" Multhazam yang eksentrik dengan gaya slengean selalu membuat nuansa lagu menjadi menarik.

Tabuhan drumm Benny Andhiantoro yang juga berperan sekaligus produser menghasilkan suatu yang menyenangkan telinga. Lagu-lagu di album Katalika selalu merebut hati dan tak bosan. Seperti di album-album sebelumnya Jimmi si ahli lirik yang nyentrik dan unik selalu menjadi penyumbang kekuatan materi lagu The Upstairs. Siapa musisi di Indonesia yang bisa memasukan unsur-unsur kimia langsung ketubuh manusia pada satu lagu? mungkin hanya Jimmi The Upstairs yang bisa, inilah mengapa materi The Upstairs selalu barada di tingkat atas band lain.

Sekelebat Menghilang, Layak Dikenang dan Selamat Datang Di Tubuh Kami, merupakan nomer yang menarik untuk didengar sambil berdendang.

Apalah Arti Sebuah Nama

 
Nederlanders waarom terug naar Europa? Blifft in indie! Zig die reeds zijn ver trokken, kom terug en vestigt U in Bandoeng.
Nederlander, mengapa pulang ke Eropa? Tetaplah tinggal di Hindia! Yang sudah pulang, kembalilah dan tinggal di Bandung.
(Wolzogen Keuhr, Mooi Bandung 1933)

Wali Kota Bandung Wolzogen Keuhr pada edisi perdana majalah Mooi Bandung berani mempromosikan Bandung karena kota ini begitu indah dan menawan hati. Pernyataan Wali Kota Bandung kala itu tentu saja dapat dipertanggung jawabkan kebenaranaya, buktinya sebelum tahun 1933 Bandung telah memiliki banyak julukan seperti  Parijs Van Java (Paris di Jawa), Garden of Allah (Taman Tuhan) dan Bleomen Stad (Kota Kembang). 

Keadaan kota Bandung yang baik dan nyaman tentu saja tidak lepas dari tokoh-tokoh yang membangun Kota Bandung pada masa lalu. Keteraturan, kenyamanan, dan kerapihan kota merupakan suatu tuntunan yang wajib diimplementasikan sebagai tanggung jawab pucuk pimpinan kota. Selain itu warga kotapun mempunyai kewajiban yang sama dalam arti ikut berpartisipasi menjaga keindahan kota, melalui kerjasama yang apik inilah pemerintah dan masyarakat kota dapat menghadirkan keadaan Kota Bandung yang nyaman. 
Pieter Sijthoff
Kisah kebangkitan Kota Bandung dahulu salah satunya diawali oleh peran pemimpin kota yang cakap dan memiliki kepekaan terhadap kebutuhan warga kota. Keberhasilan program yang dijalankan oleh Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstaken (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya) yang dipimpin ketuanya yaitu Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff merupakan salah satu kunci suksesnya pembangunan Kota Bandung tempo dulu. 

Pada perjalananya Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya ikut serta dalam membangun, melengkapi, dan membenahi bangunan fisik kota, serta meningkatkan kesejahteraan warga kota dengan begitu nyata. Melalui beragam program diantaranya: meningkatkan mutu jalan kota, meningkatkan kondisi bangunan ditepi jalan raya menjadi permanen berikut pemberlakukan garis sampedan, membangun beberapa sekolah dan perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan warga kota, Membantu para pedagang membangun tempat berjualan baru (Pasar Baru) sebagai pengganti Pasar Lama Ciguriang yang terbakar akibat kerusuhan Munada.

Resisten Priangan Pieter Sijthoff bukanlah orang yang paling berjasa atas pembangunan Kota Bandung, karena dibalik sukses Pieter Sijthoff berdiri Bupati R.A.A Martanegara yang tercatat memodernisasi Kota Bandung diantaranya: Rumah-rumah penduduk pribumi yang masih beratapkan ilalang diganti dengan genting, meningkatkan kondisi kualitas jalan-jalan di Kota Bandung dengan perkerasan batu alam, membangun kantor dagang perusahaan Eropa dan  Bank,  membangun saluran kanal buatan bersumber dari Sungai Cikapayang yang berfungsi mengairi taman-taman kota, merubah rawa-rawa sumber penyakit Malaria di Kota Bandung menjadi lahan produktif persawahan dan kolam ikan.

Diceritakan juga dalam sebuah risalah tahun 1919 yang ditunjukan kepada Walikota Bandung pertama B Coops, telah dilaporkan hasil penelitian dan penelaahan E.H Karsten menyoal penyebaran pusat perekonomian Kota Bandung. Dari hasil risalah yang terkenal dengan Plan Karsten itulah Walikota Bandung pertama B Coops membuat kebijakan yang secara nyata membuat ekonomi Kota Bandung berkembang pesat melalui penyebaran pusat-pusat perdagangan yang ketika itu berpusat  di Pasar Baru saja. Pembangunan beberapa pasar  dipadukan dengan pembangunan halte-halte kereta api baru merupakan langkah cerdas sebagai upaya dekonsentrasi pusat perekonomian yang dapat kita rasakan wajahnya hingga kini.
(Tengah) Walikota Pertama Bandung B Coops.
Kemunduran Bandung 

Berbeda dengan dahulu, kegagalan mengantisipasi pertumbuhan penduduk dengan sarana dan prasarana yang ada telah mengubur keindahan Kota Bandung. Selain itu rencana tata ruang wilayah yang sekedar  hitam diatas putih menambah kerumitan masalah kota Bandung kini. Babakan Siliwangi misalnya, penamaan wilayah yang sempat disematkan bersama sebagai hutan kota seharusnya tetap konsisten hingga kini. 

Ketidak berpihakan peran Wali Kota Bandung untuk menjaga kawasan paru-paru utama kota mengindikasikan acuhnya pemimpin kota atas aspirasi masyarakat kota. Wali Kota lebih mementingkan kepentingan pengusaha yang ingin merubah sebagian wajah bentuk hutan kota, menurut saya wanprestasi bukan menjadi alasan  yang kuat pemberian izin mendirikan bangunan (IMB), demi keberpihakan masyarakat banyak kenapa mesti  harus takut melanggar perjanjian? sadarilah bahwasanya pada zaman sekarang ini hal yang membuat seorang individu tidak mau melakukan hal yang benar hanyalah ketika individu tersebut menolak untuk menerima konsekusensi. Teladani lagilah cerita sejarah bagaimana tokoh-tokoh pergerakan Indonesia berjuang demi masyarakat banyak. Coba mulai kembali membaca buku sejarah.

Apalah arti sebuah nama, sebuah nama akan menjadi harum bermakna jika individu tersebut berjuang, berkorban, dan berguna demi kepentingan orang banyak. Para tokoh kota Bandung diatas setidaknya telah mengajarkan kita banyak hal, keberpihakan demi kesejahteraan  masyarakat banyak adalah tujuan yang harus diutamakan dari segala kepentingan individu. Bukan dengan memamerkan baliho wajah dengan prestasi-prestasi yang tidak relevan dengan kenyataan disetiap sudut kota, tapi biarlah fenomena ini menggambarkan bahwa seorang kepala daerah tidak cukup dikenal rakyatnya sehingga perlu meningkatkan awareness.

Percayalah, ketidak pedulian kita akan lingkungan kota membawa korban, korbanya adalah diri kita sendiri. Menurut saya jalan paling bijak pada fenomena yang ada sekarang ini adalah pencerdasan masyarakat, menumbuhkan kesadaran kepada setiap individu untuk menjaga kota. Semua pasti bisa menularkan karena semua punya rasa cinta kota tempat tinggal. Mari dari sekarang kita belajar bersama secara konsisten, kenali lingkungan kita, bermain langsung ke objeknya, hidupi objek tersebut dengan cerita, berfoto bersama dan hal macam lainya, terakhir mari kita berbagi kepada masyarakat dunia melalui catatan-catatan menarik kita.

Daftar Pustaka: 

Damardono, Haryo dan Setianingsih, Dwi “Menerawang Masa Depan Bandung”. Kompas, 18 Januari 2013. Hlm. 33.

Kunto, Haryono. 1985. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia.

Daftar Gambar:

Katam, Sudarsono & Abadi, Lulus 2005. Album Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung.

Kampung indian.2013. Dimuat di http://kampungindian.blogspot.com/2013/02/bcoops-walikota-pertama-di-bandung.html Diakses 2013.

Agusprast.2011.Dimuat di http://engineear.net/2011/09/13/lambang-kota-di-indonesia-dahulu-dan-sekarang-bagian-1/ Diakses 13 September 2011.